Bahasa Asia di Australia Alami Krisis: Apa Implikasinya bagi Hubungan Regional?

Bahasa Asia di Australia Alami Krisis: Apa Implikasinya bagi Hubungan Regional?

Australia tengah menghadapi fenomena yang mengkhawatirkan di bidang pendidikan dan diplomasi: penurunan signifikan jumlah pelajar yang mempelajari bahasa-bahasa Asia, seperti Bahasa Indonesia, Mandarin, Jepang, dan Korea.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan akademisi dan pembuat kebijakan tentang masa depan hubungan regional Australia dengan negara-negara Asia, terutama di tengah dinamika geopolitik dan ekonomi yang semakin kompleks.

Data dari Australian Curriculum, Assessment and Reporting Authority (ACARA) menunjukkan bahwa jumlah siswa sekolah menengah yang belajar Bahasa Indonesia turun lebih dari 30% dalam lima tahun terakhir, sementara Bahasa Jepang dan Mandarin juga mengalami penurunan signifikan.
Banyak universitas bahkan mulai menutup program studi bahasa Asia karena minimnya pendaftar.

Para ahli menilai tren ini sebagai tanda menurunnya minat terhadap pemahaman budaya dan komunikasi lintas negara, padahal Asia — khususnya Asia Tenggara — adalah mitra dagang dan strategis utama Australia.

“Kita sedang kehilangan jembatan komunikasi dengan tetangga terdekat kita,” ujar Prof. Tim Lindsey dari University of Melbourne.
“Bahasa bukan sekadar alat bicara, tapi fondasi hubungan diplomatik dan kepercayaan.”

Krisis pembelajaran bahasa Asia dapat melemahkan kemampuan diplomatik dan ekonomi Australia di kawasan Indo-Pasifik.
Kurangnya tenaga profesional yang mampu berkomunikasi langsung dengan mitra di Indonesia, Tiongkok, dan Jepang berpotensi membatasi efektivitas kerja sama perdagangan, pendidikan, dan pertahanan.

Padahal, di tengah ketegangan geopolitik antara Barat dan Asia, kemampuan memahami bahasa dan budaya regional menjadi aset strategis.
Tanpa investasi dalam pembelajaran bahasa, Australia berisiko kehilangan “soft power” yang selama ini menjadi keunggulannya dalam diplomasi kawasan.

Pemerintah Australia sebenarnya telah meluncurkan beberapa inisiatif seperti Asia Education Foundation (AEF) dan National Languages Plan, namun implementasinya masih terbatas.
Keterbatasan dana, kurangnya guru berkompetensi tinggi, serta minimnya dukungan dari sistem pendidikan negeri menjadi penghambat utama.

Selain itu, persepsi masyarakat bahwa bahasa Asia tidak memberikan keuntungan langsung dalam karier juga turut memperburuk situasi.
Padahal, sektor bisnis, pariwisata, dan diplomasi justru membutuhkan tenaga ahli dengan kemampuan bahasa asing lebih dari sebelumnya.

Beberapa universitas dan lembaga kebudayaan kini mencoba menghidupkan kembali minat belajar bahasa Asia melalui program pertukaran pelajar, kemitraan dengan universitas Asia, dan kurikulum berbasis budaya.
Australia juga mulai menjajaki kerja sama pendidikan digital untuk menyediakan akses pembelajaran bahasa yang lebih fleksibel.

Langkah-langkah ini diharapkan dapat membangun kembali kesadaran bahwa pemahaman bahasa Asia adalah kunci masa depan hubungan regional yang saling menguntungkan.

Krisis bahasa Asia di Australia bukan sekadar persoalan pendidikan, tetapi tantangan strategis bagi hubungan diplomatik dan ekonomi kawasan.
Tanpa kemampuan komunikasi lintas budaya, Australia berisiko kehilangan peran aktifnya di Asia-Pasifik.

Namun dengan investasi serius dalam pendidikan bahasa, dukungan kebijakan, dan kerja sama antarnegara, Australia masih memiliki peluang besar untuk membangun kembali koneksi budaya dan kepercayaan — fondasi utama hubungan regional yang kuat di abad ke-21.